Karena Kita Sedang Membangun Karakter
Saya menyelesaikan semua rangkaian pendidikannya tanpa
hambatan berarti. Dukungan penuh orang tua saya membuat saya menyelesaikan
pendidikan SD-S1 dengan lancar. Bahkan bisa dibilang bertabur bintang. Juara 1
kelas tidak pernah saya lepas dari tangan saya sejak SD-SMP. Ketika di SMA pun
walaupun tertatih saya lulus dengan genggaman juara 1 di tangan. Memasuki
bangku kuliah, saya tidak mencetak angka-angka tadi karena di kampus tidak ada
laporan yang menyebutkan anda juara atau tidak. Saya tidak merasakan suasana
kompetisinya, jadi saya tenang-tenang saja.
Di kampus saya (waktu saya kuliah) tidak ada sebuah
pengumuman yang menginformasikan siapa yang mendapatkan nilai terbaik (IP
tertinggi di akhir semester). Jadi, kalau anda mendapatkan nilai rendah,
anda tidak akan merasa terisntimidasi dan terlena dengan nilai anda.
Bahkan saya pernah mendapatkan nilai yang amat buruk (dibandingkan dengan nilai
anak-anak dig geng saya yang bertabur A). Akan tetapi saya selalu punya
motivator ulung; ibu saya. Ibu saya tidak pernah mengomeli saya
karena nilai saya buruk. Beliau malah memotivasi dan menambahkan tawaran uang
jajan agar saya bias belajar lebih tenang.
Sampai akhirnya saya mulai khawatir karena harus
menulis skripsi sedangan saya sama sekali tidak menguasai apa yang telah saya
pelajari selama bersemester-semester di kampus. Kondisi ini membangunkan saya
dari kecuekansaya terhadap kuliah. Saya mulai membaca buku-buku
yang berkaitan dengan disiplin ilmu saya dan mencoba membuat fokus untuk saya
jadikan skripsi saya. Saya cukup serius membaca buku-buku itu. Saya mulai
merasakan nikmatnya berlama-lama membaca di perpustakaan dan membuat note-note
kecil untuk bahan skripsi. Dasar saya orangnya dreamy, saya mulai
membanding-bandingkan. Mungkin seperti ini nikmatnya belajar ala anak-anak Harvardatau Leiden itu.
Pada waktu itu saya benar-benar cinta sama yang namanya perpustakaan dan
menulis skripsi.
Ketika akan menghadapi sidang akhir skripsi untuk
menentukan kelulusan, saya sedikit was-was juga. Pasalnya dari cerita
teman-teman saya yang sudah melewati tahap ini, sidang ini adalah semacam
pembantaian oleh para dosen penguji yang membuat kebanyakan mahasiswa harus
berkeringat dingin bahkan yang mentalnya lemah, menangis.
Tapi pada waktu itu saya malah tidak pernah mempersiapkan
khusus untuk mendalami materi dalam rangka menghadapi ‘pembantaian’. Yang saya
lakukan untuk persiapan malah tidak ada hubungannya sama sekali dengan materi
skripsi saya. Malam sebelum ujian skripsi saya malah sibuk mutar-mutar di mal
mencari outfit yang keren untuk saya pakai pada ujian skripsi saya. Saya juga
sibuk diskusi sama mbak-mbak pramuniaga yang jaga outlet parfum tentang aroma
parfum apa yang cocok untuk saya.
Saya hanya ingin memanjakan diri saya setelah bekerja
keras dengan skripsi. Saya ingin menciptakan suasana relaks yang membuat saya
juga relaks menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk mempertanggungjawabkan apa
yang saya tulis di skripsi saya. Saya sangat percaya bahwa 5 menit pertama
orang akan melihat pada penampilan kita. Saya mencoba membuat kesan pertama
yang baik di hadapan dosen saya besok dengan mempersiapkan penampilan terbaik.
Saya malah melanggar pakem berkemeja putih dibawah jas dengan memakai kemeja
merah marun yang menurut saya lebih keren daripada kemeja putih yang membosankan
karena dipakai oleh setiap mahasiswa.
Keesokan harinya saya memasuki ruang sidang skripsi
dengan agak was-was walaupun sudah mempersiapkan penampilan yang keren. Apa
yang diceritakan oleh teman-teman saya tentang ujian skripsi yang mengerikan
itu tidak terbukti sama sekali. Saya malah seperti sedang bercakap-cakap dengan
dosen penguji mereka. Hangat dan bersahabat. Saya malah sempat berdiskusi
tentang masa depan saya dengan mereka. Mereka malah memotivasi saya.
Belakangan ketika pekerjaan saya berhubungan dengan
dunia pendidikan, saya menemukan kata kunci tentang kenapa prestasi saya
gemilang pada saat SD-SMA dan saya sangat menikmati belajar ketika di
akhir-akhir kuliah. Satu kata singkat; Encouragement.
Encouragement
Saya menemukan simpul kata ini ketika saya membaca
artikel tulisan Prof. Rhenald Kasali dengan judul yang sama seperti kata
pertama sub judul tulisan ini; Encouragement. Artikel itu bercerita tentang
pengalaman beliau dengan guru anaknya di Amerika. Pengalaman yang menggambarkan
betapa jauhnya cara mendidik guru-guru di sana dengan kebanyakan cara guru-guru
di negeri kita.
Ketika saya sedang memberi training atau mendampingi
trainer magang di tempat saya bekerja, saya selalu mengingatkan mereka untuk
berhati-hati memberikan nilai dan mengoreksi pekerjaan siswa. Mereka kadang
protes, mengapa saya memberikan nilai B untuk hasil tulisan siswa jelek dan
tidak jelas apa tema dan maksudnya.
Di dalam kelas kami, nilai bukanlah punishment, kami
memfungsikan nilai sebagai encouragement. Nilai bagi kami harus bias memotivasi
siswa untuk berbuat lebih. Standar nilai yang kami berikan bukan semata-mata
berdasarkan hasil pekerjaan siswa tersebut. Kami sangat menghargai proses dan
perbedaan individu. Fatih yang belajar denganstart up 1 misalnya,
ketika bisa melaju ke standar 4, itu progress yang bagus. Sedangkan Patrick
yang nilai start upnya 5 dan melaju ke ke angka 6, itu bukan
progress yang bagus. Yang mempunyai nilai yang lebih tinggi adalah siswa yang
strat up nya 1 dan melaju ke angka 4. Nilai bagus yang diberikan kepada Fatih
adalah encouragement. Biasanya di bawah nilai itu kami berikan komentar dan
pujian atau kata-kata motivasi yang mendorong siswa untuk terus meningkatkan
prestasi mereka.
Di kelas kami, pada sessi akhir kelas, siswa diminta
untuk membuat sebuah karangan dengan bahasa Inggris setiap harinya. Biasanya,
siswa akan bersemangat untuk menulis lebih banyak lagi karangan setelah melihat
nilai dan kata-kata motivasi di atas hasil karangan mereka. Ketika melihat lagi
hasil tulisan selanjutnya di buku karangan mereka keesokan harinya, mereka
semakin termotifasi untuk menulis lebih baik ketika mendapatkan nilai yang
lebih baik. Pada akhirnya, buku hasil tulisan itu akan menjadi permainan
‘lempar –tangkap’ motivasi antara guru dan murid maupun trainer dan trainee.
Encouragement ini tidak hanya ampuh buat anak-anak.
Kebanyakan peserta training saya adalah guru-guru dengan usia 20-56 tahun. Pada
awalnya saya sendiri kaget ketika mendapati kaum ‘senior’ tersebut begitu
bersemangat. Semangat yang menghilangkan keluhan-keluhan mereka tentang
kemampuan belajar dan daya ingat yang menurut mereka semakin menurun karena
mereka sudah tua.
Siapa pun orangnya, mereka akan senang dan termotifasi
ketika hasil pekerjaannya dihargai. Contoh yang lain adalah dalam dunia kerja.
Tak bia dipungkiri, staf yang mendapat penghargaan dari atasannya baik itu
berupa pujian ataupun reward dalam bentuk materi akan semakin termotifasi untuk
berprestasi.
Kalau anda seorang pendidik, guru, trainer, boss atau
atasan, sudahkah anda memberikan encouragement kepada murid dan bawahan anda?
Atau jangan-jangan kita ‘membunuh’ karakter mereka dengan memberikan
nilaipunishment? Kita tidak sedang menghasilkan generasi yang
bernilai bagus saja, tapi yang paling penting adalah menghasilkan generasi yang
berkarakter unggul, karakter yang kompetitif dan penuh motifasi. Kebanyakan
karakter positif didapat dari imput yang positif juga@
ERIK MARANGGA
(National Trainer in SBS)
(National Trainer in SBS)
SBS English Creative Malang
"Kursus Bahasa Inggris Efektif & Cepat dengan metode unik"
Jl. Ijen No 79 Malang
Telp. 085649755952|PIN : 75B5FEF1
Daftar Online --> www.sbsmalang.blogspot.com
.jpg)

0 comments:
Posting Komentar